Gado-gado Malam


Suatu hari di jaman SMP, seorang guru bertanya "apa cita-cita kalian setelah lulus sekolah?"
Semua anak di kelas diminta memberikan jawaban satu per satu. Jawaban yang disuguhkan pun beragam, mulai dari dokter, enjiner, dosen, researcher, de el el. Semuanya begitu tinggi, begitu memukau, seakan begitu hidup dan menyenangkan untuk dikejar. Tipe mimpi yang akan membuat orang berkata "wow" ketika kau berhasil mencapainya.
Sampai akhirnya, tiba giliran temanku yang jawabannya agak nyentrik. Dia bilang, "cita-cita saya ingin menjadi ibu rumah tangga". Sontak seluruh kelas menghujamkan tatapan separo menghina, seperempat merendahkan, dan sisanya semacam mengejek. Ketika itu, cita-cita gadis SMP itu seakan sangat konyol dan "ga mutu". Kampungan, begitu versi jahatnya.

Dulu, aku adalah salah satu dari orang yang menganggap remeh cita-cita itu. Tatapan kami menertawainya dalam diam.
Saat itu, aku berpikir: untuk apa sekolah tinggi-tinggi kalau toh nantinya cuma ndekem aja dirumah?
Mending kursus masak atau jahit aja kalau memang cita-citanya jadi ibu rumah tangga. Itu kan tujuan wanita jaman dulu. Wanita kuno yang nggak punya kesempatan buat "nyicip" sedapnya menimba ilmu dan menjadi wanita karir.
Dulu aku merasa superior. Lebih modern dari dia. Dan aku rasa teman-temanku yang lain pun juga demikian.
Si nyentrik ini memang terlihat sangat keibuan, bahkan di usianya yang baru SMP. Jadi kami ga ambil pusing ketika dia jawab begitu, ya udah keliatan sih. Pikirku. Heheh

Tapi ternyata aku keliru. Aku, atau siapapun yang tadinya meremehkan cita-citanya, tak lebih dari seorang remaja ababil yang masih belum mengerti nilai kehidupan.
Remaja yang menganggap Westlife itu paling keren, bukan anak gahol kalo belom liat MTV, atau kuper kalo ga ngerti film-film keluaran hollywood. West is the best. Begitulah kira-kira.
Pergaulan yang menuntut setiap insan ababil buat update berita-berita (baca: entertainment) luar kalau mau survive di rimba SMP tanpa label "kuper" atau "kampungan".
Hmm kalau inget kok ya ra mutu banget ya. Hahaha. Tapi nampaknya ya memang itulah dunia remaja dimana peer socialization jadi sumber referensi utama.

Tapi sekarang aku sadar kalau ternyata dibutuhkan keberanian besar untuk memilih pilihan seperti yang dinyatakan temanku itu. Pilihan untuk mengabdikan diri demi keluarga. Pilihan yang melepaskan egoisme dan mengutamakan kepentingan diluar dirinya. Kerelaan untuk melepaskan kesempatan-kesempatan meraih peluang yang bagi dunia dianggap lebih berharga. 
Sekarang aku baru mengerti dan sangat menghargai keputusan non populis seperti temanku itu. Yah, walaupun bukan berarti aku mau jadi fulltime housewife. Tapi setidaknya sekarang aku bertekad tidak akan menomorduakan keluargaku kelak. Family always comes first!

Hidup itu pilihan. Tentu dengan berbagai macam konsekuensinya. Setiap pilihan harus dipertanggungjawabkan.
Dan ia telah memilih cita-citanya (dulu), yah walaupun ga tau sih apakah dia benar-benar mewujudkannya.
Tapi sekarang, aku mengerti dan menghargai pilihannya.

Mungkin dulu aku masih terlalu kecil untuk memikirkan keluarga. Heran aja kok dia udah mikir ya :3
Sungguh pendewasaan yang sangat prematur. Whehehe.
Namun, seiring dengan menanjaknya usia, naluri keibuan pun tentunya akan muncul secara alami. Aku mulai mengerti kenapa orang bilang, "wanita itu belum lengkap kalau belum jadi seorang ibu". Padahal dulu aku selalu skeptis. Mana ada sih enaknya hamil? Mana enak jadi ibu rumah tangga? Pasti repot. Lagipula, bayi itu kan menyebalkan. Bisanya nangis mulu, gedean dikit cuman bisa manja-manjaan, caper. Nyusahin. Wanita Karir is the best. Hahaha.
Bahkan pikiran-pikiran semacam itu masih setia bersemayam sampai beberapa semester yang lalu. Tapi anehnya, sekarang aku benar-benar berpikir yang sebaliknya. Aku mulai memahami betapa bahagia dan bangganya menjadi seorang ibu. Wanita sungguh beruntung bisa merasakan kehidupan dalam perutnya. Merasa menjadi satu, anak itu bagian dari dirinya. Literally. Subkhanallah.
Betapa lucunya ketika bayi itu lahir. Bagian dari diri kita dalam versi mini. Matanya yang jernih, mulutnya yang mungil, dan gerak geriknya yang menggemaskan. Tak ada yang lebih sempurna lagi.
Setelah memahami perasaan jadi ibu ini, aku mulai mengerti kenapa orang tua seringkali over protective atau very demanding. Sejatinya, yang mereka inginkan hanyalah yang terbaik bagi anaknya. Terdengar klise memang, tapi itu senyatanya. Orang tua selalu ingin memberikan lebih dari yang mereka dapat dahulu. Mereka ingin menyiapkan kehidupan yang sesempurna mungkin untuk anaknya. Supaya tak ada penyesalan atau kata terlambat bagi buah hati mereka. Orang tua hanya ingin putra-putrinya menjadi individu yang lebih baik, lebih kompeten/berkualitas, dan lebih siap dalam menghadapi dunianya kelak ketika mereka sudah dewasa. Tak jarang, sikap orang tua yang sangat demanding ini dipicu oleh kegagalannya dulu sewaktu muda sehingga ia merasa anaknya tidak boleh gagal seperti dirinya. Nah, ini yang harus diwaspadai. Kalau kayak gini bisa jadi mengarah pada usaha mencapai obsesi pribadi yang belum tergapai. God, please don't make me as this kind of mom :|

Setelah membayangkan rasanya "mengandung buah hati", sangat tidak mengherankan bila orang tua terutama Ibu biasanya bersikap overprotective kayak body guard :D
Bayangin aja, si buah hati selama 9 bulan benar-benar berada didalam tubuh Ibu. Tiap denyut jantung Ibu adalah kehidupan bagi si bayi. Ibu dan bayi adalah satu kesatuan, utuh dan tak terpisahkan. Bagaimana mungkin sang Ibu akan rela membiarkan bagian dari dirinya terluka? atau sakit?
Bahkan ingin rasanya mendekap selalu si buah hati, melindunginya dengan segenap jiwa dan raga. Ingin rasanya menyelimutinya hingga tak ada bagian dari dirinya yang bersentuhan langsung dengan dunia luar. Menjaganya agar tetap aman dan nyaman. Dan tentunya bukan hal yang mudah bagi Ibu untuk berpisah dengan anaknya.
Membiarkan putra(i) nya belajar tentang dunia, diluar jarak pandangnya.

**
Cara pandang ini membuat aku mengerti..Must be hard for you mom, now I know :)
It was hard for me, but it must be harder for you. Cause you love me more than you love yourselve.
I love you :*
#eh curcol
**

Dulu pas di kelas Ekonomi Jepang, dosenku menunjukkan data jumlah wanita yang bekerja dan menjadi ibu rumah tangga dengan perbandingan antara negara berkembang dengan negara maju. Disitu tampak bahwa di negara berkembang, masih banyak wanita yang menjadi ibu rumah tangga. Sebaliknya, negara maju semakin banyak wanita karir. Saat itu, aku tidak terlalu ingat apa yang beliau katakan tepatnya, tapi ada pendapat yang secara tersirat merendahkan kompetensi ibu rumah tangga. Aku yang dulu (pas SMP) mungkin akan turut membumbui pendapat itu. Namun aku yang sekarang berbeda. Aku merespon dengan mengatakan bahwa bagiku data itu hanyalah angka dan tidak menunjukkan bahwa posisi ibu rumah tangga itu lebih rendah daripada wanita karir. Mungkin memang sangat naif apa yang aku katakan ini. Hingga beberapa teman Eropa ku pun sedikit kaget.

Ironisnya, pilihan karir memang terkait dengan tingkat pendidikan yang dimiliki oleh seorang wanita. Padahal bagiku itu adalah pilihan. Baik menjadi ibu rumah tangga maupun wanita karir, keduanya membutuhkan pendidikan yang memadai (bila tidak boleh dibilang tinggi). Kenapa?
Karena ibu yang akan membangun karakter anaknya. Bagaimana seorang wanita mampu mencetak pribadi unggul bila ia tak memiliki kompetensi yang cukup?
Bukan berarti saya mendiskreditkan wanita karir. Saya hanya berharap agar ibu rumah tangga lebih dihargai, disetarakan dengan wanita karir. Emansipasi wanita bukan hanya menuntut pendidikan untuk wanita, tapi juga hak untuk menentukan pilihan hidupnya. Lama-lama mungkin akan ada emansipasi anak supported by Bapaknya yang menuntut si ibu/istri untuk lebih banyak di rumah. Hehehe.

Sayang sekali banyak orang berpendidikan menganggap bahwa nilai- nilai luhur seperti pengabdian istri kepada keluarga, menjadi wanita yang lemah lembut dan menyenangkan suami itu hanya omong kosong kuno yang digunakan untuk mendoktrin wanita supaya "manut" dan "legowo" dengan perlakuan apapun oleh si suami. Nilai-nilai itu telah tergeser oleh hedonisme, matrealisme, dan sikap opportunis yang dianggap lebih logis. Lebih "pintar", lebih "modern", atau bahkan lebih "sexy"?
Miris hatiku ketika membaca beberapa tweets dari para wanita yang berparas cantik, tapi omongannya kurang berbudi. Bahkan ada yang bilang kira-kira begini, "cari wanita yang mau diajak susah? grow up, man!"
Bagiku pribadi, salah satu hal yang bisa dibanggakan seorang wanita adalah pengabdiannya. Pengabdian yang diwujudkan saat sang suami bergelimang suka cita maupun dilanda duka. Ibarat kata, satu kapal dengan satu nahkoda.
Sama-sama berjuang untuk menjalankan bahtera rumah tangga saat hari cerah ataupun badai. Masak iya pas badai mau ninggalin kapal dan nahkodanya? Mau nyemplung ke laut?
Maaf, saya rasa mereka lupa hakikat kehidupan. Mereka lupa kalau wajah rupawan mereka itu seperti aset yang didepresiasi tiap tahun. Dalam bahasa awamnya mengalami penurunan nilai. Ketika fisik mereka sudah reot dan budi pun tak ada, apakah mereka siap untuk disingkirkan?
**

Hiidup itu harus berguna untuk sesama. Manusia yang kehilangan sifat manusiawinya bukanlah manusia yang seutuhnya. Mereka lupa bahwa keunggulan manusia itu ada pada akal dan nuraninya. Banyak orang pinter yang sebenarnya malah sudah terdegradasi karena kehilangan sifat- sifat luhurnya. Yang menurut saya sebenarnya malah mengalami kemunduran tanpa ia sadari. Sekarang yang dikedepankan pada umumnya hanyalah akal. Kemana nurani ketika dibelahan bumi lain, kaum lain sedang kelaparan? Bayi dan anak-anak kekurangan nutrisi dan gisi?
Sementara uangnya hanya digunakan untuk hura-hura.


Sekedar curcol nih:
Aku sendiri merasa belum mampu menjadi manusia yang membawa kemanfaatan bagi orang lain. Masih sungguh sangat jauh dari itu. Hmm.. sigh. Semoga kelak suatu saat saya bisa memberikan sesuatu yang bermanfaat. Amin.
Critique addressed to myself: why don't you do something good RIGHT NOW?? what are you waiting for?
I used to say, lemme be a super rich lady and I swear to myself to provide funding for accelerating education esp. for poor yet qualified people. Then I asked myself, "when will you be rich? what if you die before it happens? then you end up with nothing good for society. why not now? big leap always started with a small steps"
Ya Allah, will You forgive me?

Comments

  1. apakah kamu siap jika suatu saat diajak "hidup susah" oleh pasangan hidupmu?
    karena hidup seseorang tidak selamanya senang terus kan :D

    ReplyDelete
  2. yup, true! harusnya sih mau dong.. kalau misal kita yg susah terus ditinggal gmn perasaannya? main empati lah dul :D hihi

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Teori Akuntansi: Uniformity and Disclosure

Teori Akuntansi: The Income Statement

ASP: Akuntansi Masjid vs Gereja