Dari Tempe Goreng Hingga Demokrasi



08.15 AM
“Bu, nggak ada tempe goreng ya?”, tanyaku ke Ibu penjaga warung tenda di seberang kantor saat sarapan pagi tadi.
Si Ibu menggeleng. “Nggak ada, neng. Kan udah tiga hari ini nggak ada yang jualan tempe tahu. Lagi pada demo atuh neng”, begitu terangnya. Memang beberapa hari ini bisa dibilang tahu dan tempe termasuk barang langka. Pasalnya, para penjual makanan berbahan dasar kedelai itu sedang melakukan aksi mogok untuk menuntut penurunan harga kedelai yang makin meroket. 
“Kemaren ada neng yang masih jualan. Cuma satu orang di Simpang Dago. Dia gak mau ngikutin pedagang-pedagang yang lain. Akhirnya kemarin diobrak-abrik itu dagangannya”, si Ibu masih melanjutkan curcolnya dengan semangat. “Padahal ya neng, itu juga mengurangi pendapatan saya. Biasanya saya kan bikin tahu isi atau tempe goreng, sekarang teu aya.”
Aku terdiam sejenak. Dalam hatiku, sebal juga atas ketiadaan makanan favorit sejuta umat di Indonesia itu, termasuk aku. Hehe. Apalagi tempe goreng Ibu ini enak. Tempe goreng tanpa tepung. Pas banget kalo dimakan anget-anget sama nasi sayur dan ikan bersambal. Tetapi hatiku lebih merutuk orang-orang yang dengan seenaknya merusak dagangan bapak penjual itu. Perusak-perusak itu mogok berjualan demi kepentingan pedagang, katanya, tapi tindakannya kok malah merugikan teman seprofesinya sendiri? Gak konsisten kan??
“Kok malah ngerusak punya temennya sendiri, ya bu?” responku.
Namun, nampaknya si Ibu berpikiran lain karena kemudian ia meneruskan, “Ya si bapaknya juga sih neng gak mau kompak sama temen-temennya yang lain. Jadi dirusak dagangannya.”
Aku pun mengiyakan saja sambil meneruskan sarapan. Setelah membayar makananku dan mengucapkan terimakasih, aku kembali ke kantor.
12.30 PM
Dan ternyata cerita krisis tempe goreng ini telah memBandung (menyelimuti segenap kawasan bandung maksudnya :p)
Mungkin saja sudah menjadi headline koran lokal. Entahlah. Karena waktu aku datang ke sebuah warung nasi pecel, Ibu penjual yang usianya sudah senja itu pun terlihat tengah mengomel tentang kelangkaan makhluk bernama tempe ini ke salah seorang pembelinya.
“Iya ini mas, masa tempe sekarang gak ada yang jual. Malah pada demo. Itu kan makanan rakyat. Kalau orang kaya mah makanannya daging.” Blablabla
Aku hanya mendengar percakapan mereka sepotong saja. Lebih tepatnya gerutuan si Ibu sih, bukan percakapan karena mas-nya cuma manggut-manggut kalem.
Aku pun memesan 1 nasi pecel untuk takeaway. Biar gaulan dikit lah ya, hehe. Sambil melayani pesananku, si Ibu kembali mengulang omelannya tentang kenaikan harga dan aksi mogok para pedangang itu. Sampailah pada topik si-bapak-pedagang-yang-dirusak-dagangannya-oleh-massa-pedagang-tempe-lainnya. Dan sekali lagi, pendapat yang sama dilontarkan oleh nenek ini, “Yah, si penjualnya emang rada suka kekerasan sih. Gak mau nurut sama yang lain. Jadinya ya gitu.”
Duh!
Sejak kapan orang jualan itu dilarang? I know argumen para pedagang yang pro-mogok adalah kalau gak kompak, mogok gak akan sukses. Tapi bagiku itu tetap gak adil. Not good enough to defend your wrongdoing in destroying other’s property.
Seringkali di negeriku tercinta ini, “kekompakan” atau “kekeluargaan” dijadikan alasan untuk memaksakan kehendak ke orang lain. Terlalu sering. Hanya untuk menjadi sama. Atau hanya takut ada yang beda?
Inikah demokrasi?
Bagiku, itu adalah hak masing-masing orang untuk memilih mau tetap berjualan atau ikutan demo. Kalau si bapak ini berhenti jualan dan gak dapat penghasilan, memangnya ada yang mau ngasih makan keluarganya?
Well, some may argue that as we live in society, we need to conform with public rules. but still, you can’t justify the use of violance to solve anything.

Semuanya bisa dibicarakan baik-baik. Jika saja bapak itu tergabung dalam asosiasi pedagang tempe-tahu, he definately should stand for the group’s interest. but if he has no commitment to that sort of association, then I supposed he free to choose. Don’t you think?

Comments

Popular posts from this blog

Teori Akuntansi: Uniformity and Disclosure

Teori Akuntansi: The Income Statement

Akuntansi Sektor Public: Rangkuman Jenis Anggaran