Waisak, Lampion, dan Borobudur

Back to a week ago, May 6th, 2012

As you may know, dari tanggal 4-6 Mei 2012, umat Budha di Indonesia lagi punya gawe menyambut hari besar agama mereka. Puncak perayaan jatuh pada hari Minggu, 6 Mei kemarin. Serangkaian acara telah dilaksanakan dari pagi dan ditutup dengan pelepasan seribuan lebih lampion dari pelataran Candi Borobudur. Mungkin event yang terakhir ini yang paling banyak mengundang massa ke Borobudur. Dibela-belain dateng dari jam 5 sore, padahal acara baru dimulai jam 9 malem (later on we'll see that Indonesian time does "ngaret"). Hahaha
Bahkan ada yang dateng dari pagi, salah satunya ya rombongan saya.
Umm..nggak pagi ding, tapi siang. Aku sih berangkatnya pagi, jam 8 teng udah duduk manis di depan kos nunggu temen :p

To be honest, that was my very first experience to watch Vesak's procession loh.
Ketertarikan untuk menggali budaya dan agama (baik agama sendiri maupun agama lain) memang mulai bercokol semenjak aku terpilih menjadi salah satu partisipan USIPP. Next post, I'll tell ya what it is!
So tahun ini, aku emang pengen nonton acara Waisak ini. Yah, biar tahu juga kayak apa sih prosesi perayaan agama Budha itu. Gimana ibadah mereka? de es te.
Dan ternyata panitia USIPP sendiri emang mewajibkan calon partisipan buat dateng dan nonton. Jadilah di-arrange acara bersama. Kami janjian berangkat jam 8 dan akhirnya baru berangkat jam 12 sodara-sodara :))
Ya memang, jam Indonesia bagian ngaret. Ga kalah sama acaranya yang juga molor jadi malem banget. Heheheh

Singkat kata, berangkatlah kami bertujuh ke Candi Borobudur. Karena keasyikan ngobrol dengan rekan seperboncengan saya, akhirnya kami sempat terpisah dari grup dan nyasar entah dimana.
No worries. Kami kan wonder girls gitu yah *kibas rambut* , jadi setelah gagal menghubungi rombongan yah kami mutusin buat langsung dateng aja ke venue.
Alhamdulillah, ga jadi berstatus "anak ilang". Akhirnya bisa nyambung lagi dengan rombongan setelah terputus beberapa saat. Hihihi

Sesampainya di luar lokasi Candi, perut pun menuntut minta diisi. Alhasil, kaki kami berarak menuju salah satu warung di deket situ. Ba'da sholat, kami memantapkan kaki melangkah ke pintu masuk Candi sebelum akhirnya surut kembali karena mendadak langitnya rewel. Yasudah, ngiyup dulu lah di deket-deket situ sambil dengerin ocehan bapak-bapak penjual souvenir lagi tanya ke mbak bule, "How's Indonesian men?"
Oh meeeeeeennn...

Jarum pendek udah nyelip diantara angka 1 dan 2, berarti sudah saatnya beringsut dari situ dan menuju venue karena acara akan segera dimulai. Ujan masih mayan deres waktu itu, jadi kami memutuskan buat sewa payung Rp5.000/buah. Setelah setiap orang menukarkan uang Rp30.000,00 dengan selembar tiket, kami pun diperbolehkan masuk dan bergegas mendekati kompleks Candi. Tapi rada kecele juga sih, ternyata paradenya entah udah selesai atau emang cuma kaya gitu, dikit orangnya dan ga ada biksu-biksu. Hehehe
Di lokasi sebelum naik ke kompleks Candi, banyak tenda-tenda didirikan. Katanya sih tiap perkumpulan jemaah/umat punya tenda masing-masing. Mungkin sesuai dengan aliran masing-masing juga kali ya, Mahayana, Hinayana, Tantrayana, dekaka. Maaf, kurang ngerti.
Terus yang menarik, ada satu tenda khusus untuk penyembuhan masal juga disitu.

Tenda Penyembuhan Masal

Masih dibawah guyuran hujan yang kadang agak reda kadang deres lagi, kami melanjutkan petualangan dengan mendaki menuju kompleks Candi Borobudur yang memang terletak sedikit lebih tinggi. Ternyata di atas, pemandangannya lebih memesona. Di deket pelataran Candi, ada altar yang ditengahnya terdapat patung Budha berkilau keemasan dan bawah sang Budha, terdapat sederetan panjang sesajian. Sajiannya juga beragam, mulai buah-buahan segala rupa, snack, soft drink, hingga minuman kaleng.
Dari altar, kita disuguhi kemegahan Candi Borobudur sebagai background altar. Keyeenn *o*


Di sekeliling Candi, banyak pot rangkaian bunga berpita putih, kuning, atau merah dan sebuah benda yang tak teridentifikasi namanya :s semacam tiang dengan beberapa nama ditempel disitu. Kemungkinan sih nama-nama penyumbang terbesar. Terus di depan Candi juga ada lilin-lilin kecil yang dikasih nama juga. Lilin ini dibentuk menjadi tulisan "Waisak" kali ya (perlu dikonfirmasi). Ga keliatan soalnya waktu itu masih ditutup kain :p Lilin2 ini yang nanti malam akan dinyalakan dan dibawa berkeliling Candi sebanyak 3x.

Unidentifiable Object











Pas kami sampai altar, kayaknya sih upacaranya baru aja selesai. Para biksu mulai meninggalkan altar dan beberapa umat sedang berlutut untuk berdoa, sedang para wisatawan mulai asik jeprat-jepret sampai ke atas altar dengan masih mengenakan alas kaki. Alhasil, ada biksuni yang menegur para model dan kameramen itu untuk melepas sandal kalau mau naik ke altar. Beberapa kali peringatan seperti tidak diindahkan, sampai akhirnya si biksuni sempat anyel.

--
around 03.42 PM

Rombongan kami akhirnya berpisah, lima orang pulang dan dua orang stay saking pengennya nonton lampion. We had driven so far, and nyasar so far gitu.. eman-eman aja kalo langsung ditinggal. Padahal sejujurnya, yang paling ku tunggu adalah si lampion2 ini. Hehehe
Saya dan adek kecil memutuskan untuk mencari tempat berteduh, mengisi perut, dan membersihkan diri sambil menunggu acara lampion yang konon jam 9 malem, tapi akhirnya mundur jadi sekitar jam 10 an malam -___-
Can you imagine how long we had been waiting for it?
Yes, so long. 5 or 6 hours. And WET. Perjuangan yang sesuatu banget pokoknya. seriously.
Antara pengen pulang tapi kok nanggung dan pengen nunggu tapi kok lama banget. Situasi sore itu sungguh teramat dilematis untuk diputuskan :3

Toh kami akhirnya memutuskan untuk tetap menunggu. Sampai perut kami yang bersuara minta jatah. Saat itu tepat pukul 5 sore, kami keluar (masih boleh masuk lagi) dan mencari sesuap nasi dan seteguk air *halah
Ternyata semua pintu masuk ke Candi ditutup jam 5 sore, tapi kami masih bisa masuk lewat pintu keluar.
Berbekal burger ala Olive, kami naik lagi ke kompleks Candi sekitar jam 6.45 PM dan save seat dideket altar. Alhamdulillah udah banyak orang disitu, at least kami ga ngrasa kayak anak ilang. Hiks.

waiting (again) up to around 10.00 pm...


Sebelum acara lampion, didahului dengan upacara-upacara seperti pidato dari beberapa tokoh agama Budha, Kementerian Agama, etc. Kemudian meditasi-meditasi, nyanyi-nyanyi..
Rangkaian acara itu cuma sayup-sayup kudengar. Udah super capek!!
Setelah penantian yang panjang dan cukup menguras tenaga, akhirnya upacara mengitari Candi pun dimulai. Oh ya, kami udah pindah posisi dari seat deket altar ke belakang altar. Ternyata disitu banyak banget fotografer2 dengan kamera2 moncongnya yang udah ngincer momen ini.
Satu lagi informasi yang ga relevan dan ga penting sih, hihi, I saw Fauzi Baadilah. Siapa?
Yap, Fauzi Baadilah (udah duo #IfYouKnoWhatIMean)

Baru tau juga kalau ternyata dunia fotografi can be super tough! Mulai dari rebutan spot buat motret sampai tindakan-tindakan yang mungkin bisa ganggu jalannya upacara. Misalnya aja nih, serbuan blitz sangat amat menyilaukan saat para biksu dan umat Budha menjalankan upacara sidhaksina yaitu berjalan 3x mengelilingi Candi Borobudur. FYI nih, upacara ini asal usulnya meniru tingkah laku para dewa yang mengelilingi Budha sebanyak 3x sebelum mereka pamit pergi ke pos masing-masing.

Sedih rasanya saat itu. Keliatan banget kalau mereka kesitu cuma ngincer gambar, tapi kurang bisa menghargai upacara sakral bagi umat lain. Gimana rasanya kalau kita lagi sholat atau berdoa di gereja dan terus difoto2 dengan jepretan berblitz tanpa henti??
Kok acara ini jadi semacam tontonan. Dan lebih heran lagi kenapa panitia mengijinkan penggunaan blitz?
Jadi pengen nangis rasanya ketika ritual sakral agama dijadikan sekedar obyek foto dan tontonan.

Sempet ngobrol2 sama temen, kenapa ya upacara Waisak ini terbuka untuk publik? Apakah itu mencerminkan inti ajaran budha sendiri yang terbuka? Atau supaya masyarakat juga tau seperti apa sih Budha itu?
Yah, from my standpoint sih, implementasi acara Waisak sendiri sepertinya memang cukup merepresentasikan ajaran-ajaranya. Contohnya keterbukaan, kesabaran, dan welas asih. Dari beberapa acara bisa dilihat usaha untuk mengejawantahkan ajaran itu.

and finally we reach the last part, the Flying Lampion..Yey!



Pengunjung bisa dapetin lampion dengan daftar dan bayar (entah berapa kurang tau karena ga ikutan).
Lampion pertama dilepaskan oleh salah seorang tokoh, kemudian diikuti oleh yang lain. So pretty! Speechless! All the struggles were paid off. Here are some picts. Enjoy ;)








Comments

Popular posts from this blog

Teori Akuntansi: Uniformity and Disclosure

Teori Akuntansi: The Income Statement

ASP: Akuntansi Masjid vs Gereja