Suatu Ketika

Dengan kikuk, seorang laki-laki datang untuk menemui seorang wanita di rumahnya. Niatnya baik, ingin bertemu si wanita dan kedua orang tuanya. Beberapa hari sudah mereka berkomunikasi dan saling mengenal, dengan niat untuk menggenapkan separuh agama tentunya. Diajaknya seorang mediator yang juga kawannya untuk menemani. Proses perkenalan berjalan lancar.

Niat baik, laki-laki yang baik. Orang tua yang mendukung. Hanya si wanita masih bimbang, mengapa tak banyak pertanyaan yang laki-laki itu lontarkan untuk mengenalnya secara mendalam? Padahal, banyak sekali yang ia tanyakan ke laki-laki itu. Beberapa hal pokok yang berbeda, namun lelaki itu nampak begitu mudah mengiyakan setiap permintaannya. Dalam hatinya bergelayut pertanyaan, apakah lelaki itu memahami apa konsekuensi permintaan si wanita? Sudahkah ia sepenuhnya memikirkannya?

Saat bertemu pun, tak banyak yang mereka bicarakan berdua. Tapi wanita itu yakin betul, ia adalah orang yang baik. Tak ada keraguan perihal itu.

Setelah lama terdiam, lelaki itu mendongak dan menatap tajam si wanita sambil berkata, “Kapan ada waktu?”.

Wanita itu tergagap.

Tak siap dengan tatapan yang menembus jiwa dengan begitu tiba-tiba. Ia menangkap keseriusan didalamnya, yang entah bagaimana membuatnya terkesiap. Ia pun diam. Lalu, lelaki itu dengan sigap menjawab sendiri pertanyaannya, “Nanti kita kontakan lagi ya.”

Ia mengiyakan.

Namun, hatinya masih gamang. Ada hal pokok yang mengganjal hatinya: agama.

Bukan.

Bukannya wanita ini mewajibkan calon Imamnya untuk berilmu tinggi laiknya ustadz, atau hafal 30 juz Al-Qur'an. Ia pun sadar, ia hanyalah seorang pembelajar yang tak memiliki kemampuan sekaliber Ustadzah dan Hafizhah.

Hanya perkara Tauhid yang tak bisa ditawar. Dan ini masih memerlukan pendalaman.

Mengapa Tauhid adalah harga mati?

Karena ia adalah kaca mata seorang Muslim. Bagaimana seorang Muslim memandang dunia dan menjalani kehidupannya. Ini menentukan visi bersama dan landasan dalam berkeluarga.

Menjadikan syariat sebagai acuan utama. Ketaatan adalah keharusan, tanpa mengecilkan makna usaha dalam perjuangan menjalankannya. Dan tentu saja kita masih sama-sama terseok, tertatih, tetapi kesepakatan untuk hidup dalam bingkai Islam yang kaffah (menyeluruh) adalah hal yang tak mungkin digadaikan. Itu idealisme yang harus kita usahakan bersama, meski kita masih jauh dari sempurna.

Maka belajar menjadi satu keniscayaan.

Tak lama, mereka pun saling bertukar kabar. Laki-laki itu menuntut jawaban. Wanita itu pun bimbang. Apabila ia harus menjawab sekarang, maka ‘tidak’ menjadi pilihan yang dominan. Di titik ini lah, kisah berbalik dan menjadi pelajaran yang sangat mahal.

Yang tak pernah terucap..

Wanita itu menginginkan jeda. Agar lelaki itu menunjukkan kesungguhannya: belajar apa yang menjadi ganjalan si wanita. Namun sayang, ia tak pernah mengutarakannya.

Dalam diam, ia berharap lelaki itu akan kembali.

Bukannya ia ingin dikejar. Sama sekali tidak. Hanya ia membutuhkan tambahan keyakinan bahwa memang lelaki itu lah orang yang ditakdirkan untuknya. Karena ia pejuang dan berjuang.

Karena ia kembali setelah memahami. Dan bukan sekedar mengiyakan tanpa mengilmui.

Wanita itu paham betul bahwa pernikahan adalah proses perjuangan yang panjang. Dia tak ingin lelaki itu merasa tertekan karena setiap hal yang ia ingatkan. Ia tak ingin suaminya kelak merasa diubah tanpa sekemauannya, terpaksa. Ia ingin suaminya nanti merasa nyaman dan membutuhkan perubahan itu. Bukan karena istrinya, tapi karena dirinya sendiri. Karena Allah. Karena sekuat-kuat ikatan adalah yang berlandaskan keridhaan-Nya.

Maka, setiap permintaan yang wanita itu ajukan atau hal-hal yang ia tanyakan adalah selalu tentang menjadi sebaik-baik hamba-Nya. Bersama.

Ah..tapi nampaknya lelaki itu belum memahami. Ia kira wanita itu tak mau menerima dirinya apa adanya. Tak mau memahami kekurangannya.

Wajar saja. Wanita itu juga tak pernah mengungkapkan inginnya. Bahwa ketika ia bilang 'iya’, maka ia telah menerima lelaki itu seutuhnya. Ketaatan pada suami menjadi pengabdian yang mutlak baginya. Penerimaan bukan berarti tanpa perbaikan. Karena baginya, keluarga adalah tempat bertumbuh.

Menerima segala kekurangan ketika ia muncul, karena toh memang itu tabiatnya. Tetapi dalam kesadaran sebagai hamba, sepatutnya kita selalu berbenah. Bukankah begitu hakikat pasangan? Untuk saling mengingatkan dan mendukung dalam kebaikan.

Apalah daya, wanita itu tak sadar telah melukainya.

Semoga maaf masih terbuka, setidaknya sebagai sesama saudara.

Yang lelaki itu tak pernah tahu..

Wanita itu tak keberatan jika harus menunggu, selama lelaki itu mau belajar dulu. Namun, tak enak hati ia menyaratkan itu. Takut PHP pada orang yang jelas-jelas sudah ingin segera berkeluarga. Maka “maaf” lah yang terucap, sambil berharap bahwa takdir akan saling terpaut kembali.

Tapi wanita itu tak pernah tahu..

Hati itu mutlak dalam genggaman Allah. Hatinya yang berawal dengan kebimbangan, lambat laun berubah menjadi keyakinan. Butuh 14 hari untuk menenangkan gejolak hatinya sejak ia berkata tidak pada lelaki itu dan mengambil arah kembali. Ia tak ingin tergesa, kembali dalam keadaan masih bergumul dengan keyakinannya. Namun, apalah dikata, kesempatannya sudah tak lagi ada. Lelaki itu sudah tak lagi disana.

Qadarullah wa masya'a fa'ala. Allah berbuat sesuai dengan kehendak-Nya.

Itu lah takdir.

Yang dekat pun menjauh. Dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Hati yang gundah dibuat menjadi tenang dan yakin, sementara yang bergelora mengiyakan menjadi jauh tak terelakkan.

Pun demikian, semoga hanya kebaikan yang ada bagi keduanya.

Tak ada yang pernah tahu bagaimana Allah menuliskan dalam kitab Lauhul Mahfudz, tetapi wajib kita yakini bahwa skenario-Nya adalah yang terbaik.

Wanita itu pun tertunduk, menyesapi hikmah dari Tuhannya.

Ada ketundukan, kepasrahan, dan pengakuan atas Kuasa Absolut Milik-Nya.

Ada makna penghambaan dalam harapan di setiap sujud dan doanya. Ada kenikmatan tercurah atas digerakkannya hati yang memohon kesabaran, perlindungan, dan kekuatan.

Ada ujian atas keimanan, ketakwaan, dan ketawakalan.

Ada pelajaran untuk selanjutnya. Agar senantiasa menjaga niat dan kesucian prosesnya, lindungi pikiran dari angan karena itu adalah jalan masuk Shaytan. Tak perlu terbayang melakukan kegiatan favorit bersama sambil bertukar tawa. Ini lah zinanya pikiran :)

Senantiasa libatkan Allah sedari awal sampai akhir. Netralitas hati harus selalu melandasi setiap istikharah yang dilalui. Dan hati yang ridha dengan segala hasil yang mungkin terjadi. Kejarlah barokah, tak perlu terburu. Jika ia jodohmu, maka tak akan ia berlari.

Dan diatas itu semua, ada keharusan untuk menilik kembali makna ibadah. Memurnikan kembali tujuan dan niat untuk menikah, sudahkah meletakkan Allah sebagai satu-satunya ilah yang patut disembah?

Mengapa tak bersyukur ketika hati kita didekatkan karena ujian? Bukankah kedekatan kita dengan Sang Pencipta adalah senikmat-nikmat penghambaan?

Bersyukurlah dengan ketaatan. Bersabarlah karena begitu banyak nikmat yang wajib engkau syukuri.

Tersenyumlah, this too shall pass.. InsyaAllah.


Jakarta, 04 Agustus 2020

Comments

Popular posts from this blog

ASP: Akuntansi Masjid vs Gereja

Grateful for Every Little Thing

Teori Akuntansi: International Accounting