A Call for Agent of Change!
Sejak sebelum
kemerdekaan Indonesia, intelektual muda senantiasa menjadi aktor perubahan. Pencapaian
kemerdekaan sendiri tidak terlepas dari peran aktif para tokoh pemuda Indonesia
yang getol melakukan perlawanan dengan atau tanpa senjata. Semangat yang sama
ditunjukkan kembali ketika para mahasiswa mengajukan tiga tuntutan kepada
pemerintah sebagai reaksi atas kondisi politik, sosial, dan ekonomi di Indonesia
pada tahun 1960an yang dikenal sebagai Tritura. Tentu masih segar pula diingatan
kita bagaimana mahasiswa turut berjuang bersama rakyat dalam peristiwa
reformasi pada tahun 1998 yang berujung pada pengunduran diri Presiden
Soeharto. Sejarah membuktikan bahwa kaum intelektual muda seringkali menjadi
penyulut ide sekaligus penggerak dalam mewujudkan perubahan-perubahan yang
bersifat fundamental bagi suatu negara. Maka tidaklah berlebihan kiranya jika
mahasiswa dilabeli sebagai agen perubahan.
Dalam rangka
memenuhi amanahnya sebagai kaum pembawa perubahan, mahasiswa perlu
dipersenjatai dengan pikiran kritis, solutif, dan juga sensitif terhadap isu-isu
politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kata solutif tersebut memiliki makna
bahwa seorang mahasiswa juga dituntut untuk mampu memberikan pemecahan terhadap
masalah-masalah yang dihadapi oleh rakyat dalam konteks praktis. Bukan hanya mengkritik
tanpa solusi nyata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hubungan idealisme dan
pragmatisme bukanlah mutually exclusive.
Keduanya dibutuhkan dalam komposisi yang proporsional.
Namun
tak dapat dipungkiri bahwa dalam tren mahasiswa saat ini, proporsi pragmatisme
nampaknya lebih dominan dan dikhawatirkan dapat menggerus nilai-nilai
idealisme. Apa yang terjadi ketika ideologi sudah tak lagi menjadi pegangan? Perilaku
mayoritas mahasiswa yang cuek, individualis, menyukai cara pintas, dan
beriorientasi hasil menjadi fenomena nyata saat ini. Kuliah, lulus cepat dengan
IPK bagus, dan bekerja di perusahaan besar atau multinasional menjadi mainstream. Tak jarang nilai dianggap
lebih penting daripada ilmu itu sendiri. Padahal IPK hanya akan mengantarkan mereka sampai tahap administrasi. Selebihnya tergantung dari keahlian, pengetahuan, dan kepribadian. Akankah perguruan tinggi kita hanya
mencetak robot-robot korporasi tanpa jiwa kemandirian dan inisiatif? Nampaknya
peninjauan kembali terhadap hakikat dan tujuan pendidikan menjadi sebuah
urgensi yang harus segera dijawab.
Bagaimana
perilaku tersebut dapat terbentuk?
Pembentukan
karakter tentunya tidak terjadi hanya dalam semalam. Hal ini merupakan
akumulasi dari pergeseran nilai-nilai dalam masyarakat dari waktu ke waktu. Industrialisasi
dan teknologi juga turut menyuburkan budaya pragmatis. Ketika materi menjadi
indikator utama kesuksesan, maka ideologi mulai tergadaikan sedikit demi
sedikit. Saat masih menjadi mahasiswa, mungkin relatif lebih mudah untuk
menggembar-gemborkan ideologi yang diusung. Namun, ujian yang sesungguhnya
adalah ketika seseorang telah menyandang gelar sarjana. Dunia terasa tak
seramah dahulu dan kita mulai berada dalam persimpangan antara nilai yang
dianut dan materi untuk hidup. Kompromi dan adaptasi terhadap nilai dan
ideologi terus berlanjut dengan justifikasinya masing-masing hingga tanpa
sadar, terkadang kita sudah jauh menyimpang. Mau kembali? Kepalang basah.
Demikianlah pergeseran nilai individu ini menyatu dengan individu lainnya dalam
masyarakat hingga akhirnya pada titik tertentu, pergeseran tersebut bertemu dan
disitulah nilai sosial yang baru tercipta.
Saat ini,
nilai-nilai pragmatisme dapat dikatakan lebih diterima secara luas oleh
masyarakat. Mahasiswa yang dibesarkan dalam kultur seperti ini, maka sangat tidak
mengherankan jika ia akan tumbuh sesuai dengan nilai-nilai yang berterima umum.
Meskipun kita tidak dapat menafikan bahwa segelintir kaum intelektual masih
setia menumbuhkan semangat idealisme.
Untuk
membangkitkan kembali nilai-nilai idealisme, mahasiswa perlu diajak keluar dari
zona nyamannya sehingga terbentuk kepedulian sosial dan budaya
berpikir kritis. Penulis secara pribadi berpendapat bahwa program Kuliah Kerja Nyata
(KKN) yang dilakukan oleh beberapa universitas sebagai inkubator yang baik untuk menumbuhkan
kepedulian dan sensitivitas terhadap fenomena-fenomena masyarakat terutama kalangan menengah ke
bawah. Mahasiswa diajak untuk berinteraksi langsung selama periode waktu tertentu, tinggal bersama mereka, merasakan masalah yang dihadapi oleh masyarakat setempat, dan bersama-sama berjuang mencari solusinya.
Pembentukan ideologi hendaknya juga diimbangi dengan pendalaman pengetahuan secara luas, tidak terbatas pada bidang
tertentu. Dalam proses ini pula sebaiknya pemuda diberi pengarahan dan
bimbingan dari orang tua dan institusi pendidikan terkait. Visi dan ide-ide
yang tak pernah dituangkan dalam tindakan nyata tidak akan menggoreskan
perubahan. Begitu juga dengan sikap pragmatis yang tidak dilandasi dengan
idealisme hanya akan membawa keuntungan bagi sekelumit orang dan dalam jangka pendek.
Idealisme menunjukkan path atau jalan
dalam skala besar dan untuk jangka panjang. sedangkan pragmatisme akan menjadi
kaki yang digunakan untuk menyusuri jalan tersebut. Mengapa kedua hal ini harus
dipertentangkan ketika ia bisa saling melengkapi satu sama lain?
Jaman
memang sudah berubah. Tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia pun turut
berganti. Bukan lagi pejuang bambu runcing yang bangsa ini butuhkan, tetapi
pejuang dalam bidangnya masing-masing yang masih peduli terhadap problematika
sosial dan sudi untuk menawarkan solusi konkrit. Bangsa ini merindukan
sosok-sosok pemuda yang berpegang teguh pada ideologi Pancasila sebagai
rerangka jangka panjang sekaligus memberikan solusi praktis guna mengatasi
masalah dengan segera.
Mahasiswa
hendaknya sadar akan tanggungjawab yang datang sepaket dengan privilege yang ia miliki sebagai kaum terpelajar.
Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama. Maka mulailah
peduli, mulailah memberi manfaat sedini mungkin sesuai dengan kapabilitas
masing-masing. Jika saja ada satu mahasiswa di setiap program studi atau
jurusan yang memiliki idealisme dan bersikap responsif terhadap isu yang
dihadapi oleh masing-masing bidang ilmu yang ia geluti, maka bisa dibayangkan
betapa banyak tantangan yang dapat dijawab secara bersama-sama. Kalau bukan
kita, siapa lagi?
***
Artikel ini ditulis untuk mengikuti lomba artikel blog ECC UGM dengan tema: Menyorot Mahasiswa Modern: Idealisme VS Pragmatisme.
Comments
Post a Comment