Is it a burden?

"Rasanya aneh", kataku.
"Hm? Apanya?", ia mengernyit memandangku, penuh tanda tanya.
Kupalingkan wajahku. "Aneh ketika terlalu banyak kebaikan datang padamu tanpa kau bisa membalasnya. Tanpa kau punya daya untuk menolaknya. Somehow it feels like a burden. Everywhere you go, it comes along. Isn't it a bit scary?"
Mataku masih menerawang melewati rimbunan daun momiji yang mulai berubah warna, pertanda musim gugur mulai menyapa.
"Dan mengapa bidadariku ini merasa demikian?", godanya.
"Kamu pernah nolong seseorang?", ia melanjutkan dengan nada santai. Tangannya tak lepas dari kegemarannya bermain oli. "Em", aku mengangguk.
"Pernah kamu minta imbalan? Balasan?"
"Nope"
"Lalu apa tujuanmu? Kenapa kamu nolong orang lain?"
"Why not? Selama aku bisa."
"See? You don't even need any reason to help others. So do they."
Ah..matanya yang teduh memandangku. "Kamu pengen bales kebaikan mereka?", lanjutnya.
"Sure, with all I have", jawabku penuh keyakinan.
"Leave all that burdens behind and just focus on what you are doing", ucapnya perlahan..penuh penekanan. "Give all you have to achieve what they help you to. Itu cara membalas kebaikan mereka".
Bibir indahnya melengkungkan sebuah senyuman. Hangat. Damai.

**

Ah..dia benar. Batinku.
Saat ini yang bisa kulakukan hanyalah menghargai perpanjangan tangan Tuhan dengan melakukan yang terbaik.
Menjaga kepercayaan dan amanah mereka.
Tak ingin aku menyaksikan kekecewaan pada raut wajah mereka, bahkan sebersit pun ku tak ingin.

Ah..tapi dia tak tau.
Dia tak tau bagaimana rasanya berhutang budi. Menghutang untuk suatu hal yang dapat kuusahakan sendiri, meski dengan tertatih. Meski langkah ini akan terasa lebih berat.
Namun setidaknya aku masih bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Masih bisa menegakkan kepala dan tersenyum dengan bangga, "Hei, lihatlah betapa tangguhnya aku. Meski pas-pasan tapi mampu bertahan!".
Apakah harga diri yang ku jaga?
Ataukah diriku yang jumawa?

Apapun alasannya, I would never be the same.
Layaknya tanah yang basah, setiap jejak akan meninggalkan bekas. Aku berharap jejak ini, setapak demi setapak, akan mengantarkanku pada kebaikan. Ini jalan-Nya. Pastilah yang terbaik adanya.

Ah..dia benar. Pertolongan bukan senantiasa menjadi beban. Hanyalah uluran tangan saat kau sedikit limbung dan hendak roboh. Setelah kau cukup kuat, maka larilah dengan tenagamu sendiri.
Jadikan tangan yang tadinya terulur untukmu, kini menepuk pundakmu dengan bangga.
Hanya itulah harga pelunasan yang pantas untuk sebuah hutang budi.

Comments

  1. sebenarnya saya merasa background ceritanya ga nyambung, males benahin. yasudahlah..hahahahaha

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

ASP: Akuntansi Masjid vs Gereja

Grateful for Every Little Thing

Teori Akuntansi: International Accounting