Teori Akuntansi: Accounting for Changing Prices and Inflation

Inflasi merupakan kenaikan harga barang dan jasa secara umum. Selain disebabkan oleh inflasi, kenaikan harga barang dan jasa juga dapat disebabkan oleh pergeseran permintaan dan penawaran terhadap produk tertentu. Inflasi menyebabkan dua masalah utama dalam akuntansi. Pertama, angka dalam laporan keuangan yang menggunakan historical value tidak lagi relevan secara ekonomi karena terjadi perubahan harga. Hal ini tentu saja mengurangi kualitas laporan keuangan untuk memperkirakan arus kas di masa mendatang dan menilai kinerja manajemen. Hal ini juga menjadi masalah representational faithfulness yang menjadi elemen utama dari kualitas reabilitas. Kedua, angka dalam laporan keuangan mencerminkan jumlah uang yang dibelanjakan pada waktu tertentu. Artinya, jumlah uang tersebut memiliki purchasing power yang berbeda. Dengan demikian, antara satu dengan yang lain tidak boleh dijumlahkan begitu saja. Adanya dua masalah tersebut menyebabkan relevansi laporan keuangan turun. Predictive value berkurang sebagai hasil mengkombinasikan jumlah uang yang memiliki purchasing power yang berbeda.

Institutional Aspect of Inflation Accounting Prior to SFAS No. 33
Pada pertengahan 1930, AAA dan AICPA mendukung digunakannya historical cost. Namun pada awal tahun 1951, AAA mengeluarkan Supplementary Statement No. 2 yang merekomendasikan bahwa laporan keuangan harus dinyatakan dalam unit general purchasing power sebagai pelengkap historical cost. Hal ini diperkuat oleh hasil study yang dilakukan oleh AICPA yang dituangkan dalam Accounting Principles Board Statement No. 3 yang mendukung  general price- level adjusted statements. Konsep ini kembali dikuatkan oleh Trueblood Committee yang mengidentifikasi adanya permasalahan akibat perubahan harga dalam laporan keuangan. Akan tetapi, SEC memiliki pandangan yang berbeda. Pihaknya melarang penyajian laporan keuangan selain dengan historical value. SEC meminta adanya disclosure mengenai informasi replacement cost yang mencerminkan efek karena penggantian aset baru yang lebih efisien, dan produktif. Selama 40 tahun, price-level-restated financial statement terus menggunakan historical value tanpa ada keinginan untuk mengganti sistem pengukuran menjadi current value. Alasannya pengukuran menggunakan current  value lebih sulit karena melibatkan informasi pasar seperti harga indeks. Namun sekarang, pendekatan mulai bergeser pada current value seiring dengan dikeluarkannya ASR 190 oleh SEC.
General price level adjustment menekankan pada perubahan purchasing power dari waktu ke waktu. SFAS No. 33 menggunakan harga indeks konsumen untuk general price purpose. Penyesuaiannya dilakukan dengan mengalikan historical cost pada saat aset tersebut dibeli dengan harga indeks sekarang dibagi harga indeks pada saat pembelian. Hasil perhitungan tersebut tentu saja tidak mencerminkan purchasing power yang sama dengan saat ini. SFAS No 107 mendefinisikan fair value sebagai jumlah yang disetujui oleh dua pihak untuk melakukan pertukaran saat ini. Current value ada dua tipe yaitu entry value (harga jika perusahaan membeli) dan exit value (harga jika perusahaan menjual).
Purchasing Power Gains and Losses
Timbul sebagai akibat dari memegang aset atau kewajiban keuangan selama periode ketika terjadi perubahan harga. Memegang gains atau losses pada real aset dibagi menjadi dua yaitu (1) monetary holding gains and losses: murni diakibatkan perubahan harga, dan (2) real holding gains and losses yang merupakan perbedaan antara general price- level adjustment dengan current value. Monetary holding gains and losses hanya penyesuaian terhadap modal, bukan bagian dari income. Holding gains dan losses dapat diklasifikasikan dari sudut pandang realizable dan unrealizable.
Deprival value yaitu pengukuran current atau fair value atau harga pasar. Penggunaan deprival value dapat menimbulkan masalah terkait verifiability dan kemungkinan terjadinya manipulasi oleh manajemen sehingga laporan keuangan disajikan over atau understated.

SFAS No. 33
FASB memutuskan untuk tetap menggunakan nominal historical value sebagai basis utama penyajian laporan keuangan. SFAS ini menyatakan bahwa efek perubahan harga hanya menjadi bagian dari informasi pelengkap. Hanya perusahaan public yang harus mematuhi SFAS No 33 ini dengan kriteria:
1.      Persediaan dan property, plant, dan equipment (tidak termasuk intangible aset) sebelum dikurangi akumulasi depresiasi, deplesi, dan amortisasi berjumlah lebih dari $125 juta.
2.      Total aset berjumlah lebih dari $1 miliar setelah dikurangi akumulasi depresiasi.
Purchasing power gains dan losses tidak boleh dimasukkan dalam perhitungan income continuing operations. Terkait dengan current cost, berikut ini harus diungkapkan:
1.      Informasi income dari continuing operations untuk tahun fiscal sekarang dalam current cost basis.
2.      Jumlah current cost inventory, property, plant, dan equipment pada akhir tahun fiscal.
3.      Peningkatan atau penurunan jumlah current cost dari inventory, property, plant, dan equipment untuk tahun fiscal sekarang dalam net inflasi.
SFAS No 33 gagal karena terdapat penurunan inflasi yang dramatis selama awal tahun 1980an serta terdapat masalah pengukuran sehingga understandability dan kegunaan untuk tujuan predictive value- nya perlu dipertanyakan.
SFAS No 28
Dikeluarkan pada akhir tahun 1984, mengeliminasi constant dollar income disclosure yang sebelumnya diminta oleh SFAS No. 33 karena dianggap membingungkan pengguna akibat overload information.
SFAS No. 89
Pengukuran current cost income, purchasing power gains and losses, dan informasi holding gains and losses didorong untuk diungkapkan tapi tidak diwajibkan.

Comments

Popular posts from this blog

ASP: Akuntansi Masjid vs Gereja

Teori Akuntansi: International Accounting

Grateful for Every Little Thing