Homesick

"being away from home & family is like losing a half of my soul. yet, I just saw things from a new standpoint which I would never find if I just stay"




Terbiasa dengan kehidupan yang "apa-apa tersedia" membuatku lupa bagaimana kerasnya kehidupan. Bahwa perjuangan itu perlu untuk tetap mampu bertahan. Draft ini aku tulis saat minggu pertama tiba di Hiroshima, Jepang. Malam ini, 7 Maret 2012, aku baru memutuskan untuk melanjutkannya (baru ada waktu, hehe). Aku masih ingat pada saat itu betapa aku rindu tempat tinggalku di Yogyakarta, Indonesia.


Terus terang, minggu pertama di Hiroshima merupakan minggu terberat yang aku jalani. Bukan karena aku tak pernah jauh dari keluarga. Hidup mandiri sudah menjadi makananku sejak kecil. Tinggal jauh dari orang tua bukanlah masalah besar bagiku. Masalahku terletak pada kemampuan ekonomi yang pas-pas -an untuk standar Jepang dan mungkin masih masa adaptasi juga sih.
dan Bukan salah Hiroshima juga bila seorang pencari ilmu dari sebuah negeri berkembang merasa semua barang atau jasa sangat mahal di Jepang. Belum lagi dengan penduduknya yang mayoritas bukan beragama Islam, akibatnya makanannya pun mengandung babi. Yah, antara mahal dan takut ga halal, aku "terpaksa" harus masak sendiri. Padahal di Indonesia, tak pernah sekalipun aku masak makanan yang layak dikatakan "makanan". Duluuu sekali, aku pernah memasak nasi goreng, itu pun jarang dan gampang kan :p
*pasti ada yang ketawa deh, huhu*


Di tengah himpitan ekonomi yang Alhamdulillah tak pernah ku rasakan saat aku di Indonesia, kemudian dihadapkan dengan pilihan yang sangat berat yaitu antara masak sendiri atau ga makan :(


Yes, I was depressed!! a bit! ummm.. ok, more than a bit. hehe


Keadaan ekonomi dan kewajiban masak itulah yang membuatku homesick setengah mati. Lengkaplah dengan lagu Home dari Michael Buble sebagai penambah nelangsa hariku. Hehehe. Ga selebay itu sih.
Tapi memang benar, itu pertama kalinya aku merasakan harus berpikir berulang kali, menghitung berkali- kali sebelum membeli apapun.
Maaf, tapi di Indonesia tak pernah aku harus berpikir sampai berpuluh kali (kalau dua kali masih pernah lah ya :p) untuk membeli sesuatu. Pengen ya beli.
Sindrom dari negara lain, pasti di awal- awal kedatangan akan menghitung segala sesuatu dari yen ke rupiah!!
Jadilah muahal buanget itu barang- barang di Jepang. Namun apalah daya, aku harus tetap beli dong daily needs or else I'm going to starve, worst case DIE! Hehe LEBAY sih.


Sebenarnya orang tuaku dengan sukarela akan mengulurkan tangan untuk membantu, tapi aku nggak mau. Prinsipku, mereka cuma boleh mengeluarkan biaya kuliahku selama S1 reguler saja. Bila ada keperluan tambahan seperti exchange begini, aku lah yang harus bertanggungjawab sendiri. Entah mengapa, meskipun memakai uang orang tua sendiri, aku agak enggan. I prefer to stand on my own, selama aku bisa. Itulah mengapa ketika ada kejadian "extraordinary" di sana terkait pendanaan, aku merasa sangat malu.. campur aduk deh rasanya. Antara senang, gengsi, malu, sedih, kecewa. Campur aduk. Intinya diriku ini orang yang lebih suka mandiri, tak mau mengandalkan orang lain jikalau tidak sangat amat terpaksa. Mungkin karena ajaran orang tua juga "jangan sampai merepotkan orang lain". Maka sebisa mungkin aku lakukan sendiri (kecuali masak kalo di Indonesia :p)


Seusai satu minggu yang penuh dengan perenungan, aku menyadari betapa beruntungnya aku selama ini. Alhamdulillah, dikaruniai keluarga yang bahagia dan berkecukupan secara materi walopun ga sekaya para koruptor! ups!
At least, mau apa ya keturutan. Asal kemauannya ga berlebihan :)
Karena peristiwa Minggu Pertama itu, aku jadi memahami bagaimana rasanya ketika seorang dari (maaf) keluarga dengan kemampuan ekonomi yang kurang menjalani kehidupan sosialnya. Ketika seorang teman mengajak pergi atau sekedar makan, pasti yang menjadi concern pertama adalah price. Bukan karena dia pelit, tapi memang kemampuan ekonominya belum mencukupi.
Karena tinggal di Jepang juga aku jadi bisa masak, yah walopun tadinya masih sangat sederhana. Cukup mengandalkan resep dari ibu via YM dan browsing di internet. Tapi bahan makanan Indonesia susah dicari di Jepang, jadi ya ala kadarnya lah yang penting ga kelaparan. Hehehe


At last, I know how lucky I am and I am grateful for everything I have. dan aku jadi suka masaakk!!!! :)
Ternyata masak itu mudah, karena kebesaran Allah yang menciptakan bahan makanan dengan rasa yang memang sudah luar biasa.
SO if you cook and your cooking isn't taste good, the fault must be yours :p


Pesan Moral: seberat apapun hidup, jalani saja dengan tegar. Pasti di akhir ketika semuanya telah usai, kita akan mampu memetik hikmah dari itu semua.

Comments

Popular posts from this blog

Teori Akuntansi: Uniformity and Disclosure

Teori Akuntansi: The Income Statement

Akuntansi Sektor Public: Rangkuman Jenis Anggaran